Friday, May 24, 2013

SARTRA TEPI JALAN : CATATAN PERJALANAN SATRA ZAKKY ZULHAZMI ALUMNI MAPK SOLO

Lantaran sastra amat dekat dengan cerita dan dongeng, maka di paper sederhana ini saya akan bercerita saja. Barangkali lewat cerita yang cair, pokok-pokok pikiran justru lebih mudah disampaikan.

Pada mulanya adalah masa kecil yang riuh. Saya bersyukur, ketika kecil sudah dekat dengan beberapa bacaan. Saat itu saya berkenalan dengan majalah Bobo dan Mentari. Alhamdulillah, saya diberi kesempatan untuk berlangganan dua majalah anak-anak tersebut. Dari banyak rubrik di kedua majalah itu saya sangat menyenangi rubrik cerita pendek. Masih lekat pula di ingatan saya, pada masa itu saya akrab pula dengan dongeng-dongeng yang diceritakan di malam-malam yang hangat oleh orang tua dan kakek-nenek saya.

Tanpa saya sadari, bacaan yang saya konsumsi dan dongeng-dongeng yang saya dengar mematik imaji saya. Yang di kemudian hari menjadi benih-benih cerita yang satu-persatu mulai mewujud.

Selanjutnya, bacaan saya berkembang saat saya menginjak bangku sekolah dasar. Rumah saya ketika itu amat dekat dengan persewaan komik. Tak ayal, setiap akhir pekan saya menyewa empat sampai lima komik untuk saya lahap seharian. Dulu saya gemar betul membaca komik Doraemon dan Conan. Tapi sekarang saya tidak terlalu suka membaca komik. Entah mengapa. Di samping komik, ketika itu bacaan saya agak meluas lantaran memiliki akses ke perpustakaan sekolah. Lagi-lagi buku yang saya comot adalah buku cerita. Satu buku cerita anak-anak yang belum saya lupakan sampai sekarang adalah sebuah buku yang berkisah tentang persahabatan seorang anak desa dengan burung gelatik. Sayangnya, saya lupa judul dan pengarang buku itu.

Setelah lulus SD saya hijrah ke Solo dan masuk pesantren. Bagi saya, dari Ponorogo ke Solo adalah sebuah perpindahan yang mahal. Pasalnya di Solo saya bisa belajar banyak hal. Persentuhan saya dengan sastra juga semakin intens. Sejujurnya, masa-masa di pesantren adalah masa yang membahagiakan. Karena saat itu bacaan begitu melimpah dan untuk kali pertama tulisan saya dimuat di media massa. Cerpen pertama saya yang dimuat berjudul Topeng Bakmi. Bercerita tentang seorang tukang bakmi yang ternyata adalah provokator di sebuah demonstrasi. Sehingga demo berakhir chaos. Cerpen itu dimuat di majalah pesantren yang dicetak tidak sedikit. Dari sana saya jadi percaya diri dan mulai rajin menulis.

Perjalanan takdir membawa saya bertemu dengan sebuah sekolah yang membuat banyak perubahan di hidup saya: MAPK Solo. Saya harus bilang bahwa sekolah ini adalah sekolah yang tiada tanding. Saya bisa bilang begitu justru ketika saya sudah lulus dari MAPK. Ya, sesuatu yang dilihat dari luar kadang memang lebih objektif. Saya dan kita semua sepatutnya berbangga menjadi bagian dari MAPK Solo karena sekolah ini adalah sekolah yang istimewa. Meski hanya sekolah di pinggirang kota Solo, berdekatan dengan kuburan, serta luasnya tak seberapa, tapi sudah berapa alumni yang bisa dikirim ke luar negeri? Berapa alumni yang ‘jadi orang’ di kampus-kampus besar di Indonesia? Entah yang menjadi ketua BEM, ketua organisasi, think thank di sebuah komunitas dan lain sebagainya.

Saya pikir, apa yang saya utarakan di atas sudah menjadi common sense, semua sudah tahu. Namun, ada hal penting yang kadang luput diperhatikan, yakni terkait proses bagaimana siswa-siswi MAPK ditemani dalam tumbuh kembangnya. Maksud saya adalah mengenai iklim dan sistem yang terbentuk di MAPK Solo ini. Saya tidak tahu, sekolah mana yang punya acara sebagus Stratik, Gesma, CPI, LF, LC, CDR, HAC, muhadloroh dan acara-acara lain yang sudah menjadi ciri kuat MAPK Solo. Saya melihat dari lomba-lomba dan kegiatan itu ada kecenderungan bahwa MAPK sungguh-sungguh ingin memberdayakan anak didiknya baik dari sisi kesenian, intelektual, spiritual dan mental.

Pembacaan saya, akan muncul jiwa-jiwa kompetitif dalam diri siswa-siswi MAPK lantaran biasa mengikuti lomba. Entah itu lomba di dalam ataupun di luar. Nuansa kompetitif itu diperkuat pula dengan sejumlah pelatihan, semisal pelatihan menulis dan kaligrafi yang diadakan rutin seminggu sekali, yang tentu saja akan menaikkan ‘derajat’ siswa itu sendiri. Di MAPK Solo, kita sejatinya juga sudah ‘belajar pluralisme’ jauh sebelum orang-orang ribut soal pluralisme. Ya, keberagaman sudah bukan barang baru di MAPK. Mereka yang PAN, PKB atau PKS bisa jalan-jalan bareng dengan santai. Mereka yang NU dan Muhammadiyah bisa satu kamar tanpa ada ribut.

Dan saya bersyukur telah menjadi bagian dari itu semua.
Kini saya bisa mengenang sejumlah cerita saat saya di MAPK yang kadang membuat saya mengharu biru. Saya pertama-tama ingin mengingat ketika saya dan beberapa teman menginisiasi berdirinya Komunitas Ketik. Sebuah komunitas kepenulisan, kecil, tanpa funding, yang hingga kini masih terus bergeliat. Saya, Arobi, Cindy dan Nafisah (kami dari MAPK) adalah penggagas awal berdirinya komunitas tersebut. Kelas atas MAPK juga merupakan saksi bisu berdirinya Komunitas Ketik. Komunitas yang pada awalnya beranggotakan 13 orang dari 5 SMA di Solo ini terus tumbuh dan masih rajin melakukan kerja-kerja nirlaba mengkampanyekan gerakan gemar membaca-menulis di beberapa SMA di Solo. Dan setiap ulang tahun komunitas ini, yakni pada tanggal 17 Juni, selalu diperingati secara meriah.

Saya juga ingin bercerita saat tim mading MAPK Solo bisa menjadi yang terbaik di Kota Solo. Mengalahkan SMAN 1, SMAN 3 dan Assalam. Padahal ‘modal’ kita hanya alakadarnya. Tapi secara kreatifitas dan konten kita boleh diadu. Saya juga terkenang saat mengantarkan majalah Inthilaq menjadi terbaik ketiga tingkat Jawa Tengah. Bersama seorang kawan, usai sholat subuh saya berangkat ke Unnes, Semarang untuk mengambil piala serta hadiah. Dan saat sore hari kami pulang ke asrama, sambutan meriah teman-teman ternyata sudah menanti. Pun saya ingat saat menjuarai lomba menulis cerpen di SMAN 1 Solo, yang tak lama berselang di sambung dengan menyabet juara dua (sekaligus juara 1) lomba menulis esai Harian Joglosemar. Karena lomba itu, saya berkesempatan untuk makan siang bersama Pak Jokowi di Loji Gandrung, rumah dinas walikota di Jalan Slamet Riyadi. Saya yakin, semua yang saya raih bukan semata-mata karena kerja keras saya, ada campur tangan MAPK dan Tuhan di sana.

Untuk semua anugerah itu saya ingin mengucap terima kasih sebesar-besarnya.

Kabar dari Kesunyian dan Sastra Tepi Jalan

Setelah saya panjang lebar bercerita tentang ‘diri saya’ di masa lampau, di bagian ini saya ingin bercerita tentang buku kumpulan cerpen dan pandangan saya mengenai sastra. Pada mulanya adalah cinta. Saya mencintai sastra dengan cinta yang sederhana. Di awal kuliah, saat saya sudah berjarak dengan teman-teman Komunitas Ketik, saya memiliki angan-angan untuk membentuk sebuah komunitas sastra di UIN Jakarta. Tak membuang waktu, hadir Tongkrongan Sastra Senjakala, yang saya bidani kelahirannya bersama dengan sahabat Nasihin Aziz Raharjo (alumni MAPK dua tahun di atas saya). Komunitas sastra kecil yang independen (tanpa funding) itu menggelar diskusi rutin mingguan setiap hari Rabu jam 4 sore hingga senja tiba. Selain juga rutin menerbitkan buletin sastra bulanan, Teh Hangat. Puncaknya, Tongkrongan Sastra Senjakala berhasil menerbitkan buku kumpulan cerpen bertajuk Sunyi, kumpulan cerpen pertama mahasiswa UIN Jakarta.

Tongkrongan Sastra Senjakala terus berproses hingga muncul gagasan membentuk Penerbit Buku Senjakala. Gagasan itu tidak hanya berhenti di langit, tapi telah turun ke bumi dengan penerbitan buku perdana: Kabar dari Kesunyian. Sebuah buku kumpulan cerpen yang berisi 15 cerpen saya. Kebetulan cerpen-cerpen di buku itu sudah pernah mampir di beberapa surat kabar semisal Republika, SoloPos, Joglosemar, Jurnal Nasional dan lain-lain. Menurut hemat saya, pemuatan cerpen saya di sejumlah media massa bukan berarti saya adalah pengikut arus utama sastra Indonesia, yakni sastra koran. Saya hanya ingin ‘mengukur’ sejauh mana tingkat penerimaan karya saya oleh para redaktur sastra koran.

Di Tongkrongan Sastra Senjakala saya sebenarnya ‘diajarkan’ untuk terus mengusung manifesto ‘sastra merdeka’. Manifesto itu pada intinya menekankan kemerdekaan dalam berkarya. Salah satu bunyi manifesto sastra merdeka adalah “…tidaklah bijak bila akhirnya karya sastra hanya bisa dibaca dan difahami oleh orang-orang tertentu. Bila seperti ini kejadiannya yang menjadi buruk adalah sastra tidak menjadi karya yang populis dan demokratis, justru karya sastra seakan menjadi wadah dari kesombongan intelektual…“

Dalam berkarya saya tidak ingin bersetia pada sebuah gerbong, misalnya, sastra Islam, sastra surealis, sastra realisme magis dan aliran-aliran lain dalam sastra. Marilah kita memerdekakan diri dalam berkarya. Sastra saya juga semoga tidak menghamba pada uang, yaitu selalu berupaya menukar karya dengan rupiah. Tidak pula menuhankan koran atau media massa sebagai satu-satunya labuhan akhir. Biarlah ia merdeka apa adanya. Sebab, setahu saya, antara berkesenian dengan pamrih dan tanpa pamrih jelas berbeda kualitas dan nilai kegembiraannya.

Semoga saya masih bisa memegang satu pedoman berkarya: menulis untuk menulis. Tidak peduli karya saya nanti berada di tengah jalan utama kesusasteraan Indonesia atau cuma berada di pinggiran. Jika ada yang punya kesempatan untuk membuka cerpenzakky.blogspot.com akan terbaca bahwa dalam menulis sastra saya mungkin sedang menulis sastra tepi jalan. Tulisan-tulisan yang tidak diperhitungkan. Yang tidak berada dalam arus besar sastra Indonesia. Tapi itu tidak masalah. Sebab memang bukanlah itu yang kita cari. Di atas segalanya, kita ingin menemukan kegembiraan dalam sastra. Dalam menulis puisi, cerpen, novel atau apapun wujudnya. Mari kita tempuh sastra tepi jalan. 
(Dasalin dari www.zakky.zulhazmi.com)

No comments: